Law

Renungan: Perlukah Golput Meski Kecewa Pada Pilihan yang Ada?

Ilustrasi golput. Credit photo: beritasatu

Sayaajarkan – Setiap calon presiden, baik sang petahana, Joko “Jokowi” Widodo maupun kubu penantang, Prabowo Subianto dengan cawapres nya masing-masing, Ma’aruf Amin dan Sandiaga Uno, menawarkan janji-janji kampanye dan program kerja yang menarik. Setiap pasangan juga punya track record nya sendiri-sendiri yang bisa kita cermati.

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kalangan masyarakat juga ada yang cenderung untuk tidak memilih kedua pasangan capres dan cawapres pada Pemilu 2019 nanti alias golput.

Unsur kekecewaan terhadap kondisi perpolitikan nasional, kinerja pemerintahan selama ini yang dianggap banyak cela di luar segala keberhasilannya, serta tidak adanya kandidat yang dianggap benar-benar pantas untuk dipilih jadi beberapa faktor.

Ilustrasi golput. Credit photo: Radio Idola Semarang
Ilustrasi golput. Credit photo: Radio Idola Semarang

Persentase Golput

Kelompok-kelompok masyarakat yang merasa tidak terwakili oleh kedua kubu pasangan capres-cawapres dikatakan kemungkinan memilih untuk golput. Pada Pilpres terakhir pada 2014 lalu, angka golput sendiri menyentuh 30%, termasuk yang diakibatkan masalah administrasi seperti tidak masuknya sejumlah warga dalam DPT.

Bagi pengkritiknya, sikap ‘tidak memilih’ dianggap sebagai sikap apatis dan tidak acuh terhadap negeri. Sehingga, para pemilih golput dianggap tidak berhak untuk ikut mengkritik siapapun pemerintahan yang terpilih nantinya. Sejumlah pihak bahkan mengatakan bahwa perbuatan golput ini dapat dipidana.

Argumen sebaliknya mengatakan bahwa setiap warga negara, baik memillih ataupun golput sama-sama membayar pajak sehingga berhak untuk mengkritik siapapun. Soal pidana, dikatakan bahwa golput merupakan kebebabasan dan hak politik yang dijamin oleh undang-undang sehingga tidak akan menimbulkan konsekuensi hukum.

Di sisi lain, ada juga kalangan yang sebenarnya tidak sreg dengan kedua kubu capres dan cawapres, namun tidak memilih untuk golput karena dianggap tidak akan menyelesaikan masalah malah justru menambahnya.

Demi kepentingan yang lebih besar, mereka mengaku akan tetap memilih salah satu pasangan bukan karena menganggapnya sebagai calon yang baik, tapi karena alasan “the lesser evil” alias pilihan tersebut adalah yang lebih mending dari pilihan-pilihan buruk yang tersedia.

Pemilu 2019
Ajakan untuk mengunakan hak suara pada pemilu 2019 nanti. Credit photo: KPU

Perlukah golput karena kecewa terhadap pilihan yang ada?

Rasanya, di alam demokrasi, tidak ada siapapun yang dapat memaksakan orang lain untuk memilih. Adalah tugas para capres dan cawapres untuk membuktikan bahwa mereka memang layak dipilih menjadi pemimpin negeri ini.

Meski demikian, perlu sangat diingat pula bahwa masa depan Indonesia selama lima tahun ke depan ada di tangan kita para pemilih. Apapun pilihannya, tentukan dengan pertimbangan yang matang dan bijak, serta bayangkan akibatnya, bukan berlandaskan emosional sesaat belaka.

Dan, siapapun Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih nanti, semoga Indonesia selalu damai dan menjadi lebih baik lagi.

Referensi:

  • https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46970330
  • https://pinterpolitik.com/jokowi-the-lesser-evil/
  • https://tirto.id/icjr-memilih-maupun-mengampanyekan-golput-bukan-tindak-pidana-de2s
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

To Top